Koronavirus yang telah
menjadi pandemi global menyisakan kekhawatiran luar biasa. Pasalnya, penyakit
menular tidak hanya berdampak pada kesehatan, sosial dan ekonomi masyarakat,
tapi juga ketersediaan pangan.
Beberapa hari lalu,
sekelompok aktivis di Sulawesi Barat sempat mendiskusikan fenomena ini. Aktivis
yang tergabung dalam Lembaga Advokasi dan Asprasi Rakyat (LIAR) Sulbar menggelar
diskusi dengan tema koronavirus dan Matinya Ruang Kemanusiaan.
Baca juga: Berkah Ramadan, IKA 2017 SMAN 1 Pasangkayu Bagi Takjil dan Masker
Dalam diskusi
tersebut, mereka menyoroti ihwal penyebaran
koronavirus yang terus meluas di wilayah perkotaan. Fenomena ini, tentu saja
tidak hanya menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat kota, tapi juga warga yang
tinggal di pedesaan.
Ketersediaan
Pangan
Jika
pemerintah dan masyarakat tidak mampu mengatasi pandemi global ini, besar
kemungkinan akan berdampak pada terjadinya ruralisasi
atau perpindahan penduduk secara massif dari kota ke desa, karena menganggap
desa menjadi solusi terbaik untuk berlindung.
Jika hal
ini benar-benar terjadi, maka kemungkinan besar wabah koronavirus juga akan semakin
merajalela di desa-desa. Sehingga
memutus rantai penyebaran koronavirus pun akan membutuhkan waktu lama karena penyebarannya
makin meluas.
Selain
itu, fenomena wabah koronavirus juga akan berdampak pada ketersediaan pangan di
desa. Lonjakan pengungsi ke desa yang meningkat drastis akan membuat sumber
pangan menipis, dan tidak menutup kemungkinan membuat masyarakat frustrasi dan chaos.
Berkaca
pada kasus Palu saat terjadi gempa dan tsunami, pasca gempa terjadi penjarahan
di toko-toko akibat tidak adanya ketersediaan pangan, kemungkinan besar hal
tersebut juga akan terjadi di desa, sehingga bisa jadi negara ini akan dilanda
kemelut sosial yang mengerikan.
Sterilisasi Dunia
Dilihat
dari sisi lain, koronavirus yang menyebar di hampir seluruh dunia dengan ribuan
korban jiwa, tak ubahnya seperti mesin sterilisasi. Jika kita melihat
fakta-fakta yang pernah terjadi, seperti bencana alam dan banjir bandang dalam
setiap satu abad, bumi seakan disterilkan.
Awalnya mungkin
dianggap terjadi secara alami, namun seiring perjalanan waktu, bukannya semakin
surut, malah semakin membesar, demikian pula halnya dengan penyebaran koronavirus
ini.
Akibatnya,
berbagai rumor pun berkembang di jejaring media sosial, bahwa virus ini adalah
buatan negara-negara besar. Jika benar demikian, maka boleh dibilang telah
terjadi rekayasa gagal, karena hingga saat ini, virus ini belum bisa
dikendalikan.
Terlepas
benarnya rumor yang berkembang itu, yang pasti keberadaan teknologi tampak
semakin memperjelas diri, bahwasanya dialah satu-satunya kebutuhan mendasar
bagi manusia di tengah penyebaran wabah mematikan ini.
Pasca
merebaknya virus ini, ruang-ruang kehidupan manusia perlahan-lahan bergantung
pada teknologi. Bahkan hampir semua aktivitas manusia, khususnya di wilayah
perkotaan dikendalikan oleh teknologi.
Sebenarnya,
fenomena ini bukanlah hal yang baru, sebab jika kita mengamati perkembangan
teknologi modern, sejak dari dulu sudah menginvansi kehidupan sosial manusia,
termasuk masyarakat pedesaan.
Lihat
saja proses bertani di pedesaan, dulunya proses bertani dijalankan sepenuhnya
oleh manusia, namun sering perkembangan waktu, perlahan digantikan oleh mesin.
Bahkan rekayasa teknologi yang menginvasi petani pun kian massif.
Di
beberapa kampung atau pedesaan, padi tak lagi dijemur oleh manusia, karena
sudah ada alat atau teknologi pengering. Uang tunai perlahan-lahan akan jarang ditemui,
karena tergantikan oleh transaksi mesin dan online, sementara pengamanan (security) diganti oleh CC TV.
Fakta
ini, adalah contoh kecil ruang-ruang kerja manusia yang perlahan tersingkir akibat
dominasi teknologi, dan sekaligus memperlihatkan bahwa hampir semua segmen
hidup manusia tak berarti apa-apa tanpa kehadiran teknologi.
Makanya
itu, lagu Nasidah Ria yang pernah populer di tahun 70-an tampaknya semakin
menemu ruang. Demikian pula dengan Pemikiran Marx yang oleh sebagian kalangan
dinilai gagal membaca keruntuhan kapitalisme, tampak semakin memperjelas pada
pembacanya agar lebih kritis lagi membaca dan memprediksi cara kapitalisme
bermetamorfosis.
Koronavirus samar-samar terlihat menjadi jalan mulus melanggengkan upaya teknologi menjadi praksis kehidupan. Buktinya, penyebaran koronavirus telah berhasil menempatkan teknologi sebagai pekerja utama serta mendominasi segala lini kehidupan manusia.
Diolah dari catatan diskusi LIAR Sulbar, 28 Maret 2020.